Selasa, 30 Juni 2009

kutipan

Hubungan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dengan PKI

Sesudah Oktober 1965 semua lembaga, kantor, sekolah yangada hubungannya dengan PKI dan organisasi apa pun termasuk “keluarga Komunis”, bahkan pun rumah-rumah pribadi para anggota organisasi tersebut (termasuk yang dicurigai sebagai simpatisan-simpatisannya), semuanya digedor dan dijarah-rayah. Semua dokumen, buku, majalah dan surat kabar dirampas dan dihancurkan. Semua penerbitan yang pernah dikeluarkan oleh salah satu organisasi tersebut, dinyatakan terlarang dan dikeluarkan dari semua perpustakaan umum, kantor pemerintah, lembaga pendidikan dan toko buku. Masyarakat pun diperintahkan untuk menyingkirkan bahan-bahan tersebut dari rak buku masing, dengan ancaman hukuman bagi yang melanggar dicap sebagai komunis (yang menyebabkan seseorang bisa dianiyaya). Sebenarnya dalam pertengahan 1966 semua sumber dokumen yang dianggap “berbau komunis”, bahkan kumpulan pidato Sukarno dan penerbitan PNI sayap kiri, sudah dimusnahkan sama sekali. Karya-karya fiksi dan sastra para penulis kiri, seperti Pramudya Ananta Toer (yang kemudian dikirim ke kamp konsentrasi Buru), juga dinyatakan terlarang. Akibatnya sumber-sumber dokumentasi mengenai Gerwani pun sangat sukar didapat. Bahan tentang Gerwani hanya terdapat di sejumlah perpustakaan non-Indonesia, seperti KITLV di Leiden dan di Universitas Cornell. Cornell menyimpan arsip Harian Rakjat (HR). Karangan tentang perempuan
di dalam HR merupakan sumber informasi yang kaya. Karena, setidak-tidaknya sejak November 1952, koran ini mempunyai mingguannya sendiri yang bernama Ruangan Wanita, yang sejak Oktober 1963 menjadi Ruangan Gerakan Wanita. Ruangan ini diisi dengan karangan-karangan tulisan para pemimpin terkemuka Gerwani.


Hubungan Gerwani dengan PKI

Gerwani selalu di bawah pengaruh kuat PKI, dan kader-kader PKI pun selalu memandang Gerwani sebagai organisasi perempuan “mereka”. Gerwani melancarkan sejumlah kampanye “Komunis”, seperti misalnya dalam pembelaan untuk suami-istri Rosenberg di AS. (Januari 1953 Gerwis menuntut pembebasan Ethel dan Julius Rosenberg, dengan tambahan sentuhan yang khas “perempuan”, yaitu kata-katanya yang memprihatinkan anak-anak Rosenberg [Harian Rakyat 1953-56]. Ketika Gerwani sudah semakin dekat dengan PKI, perlahan-lahan sayap “feminis”-nya terdesak, dan bersamaan dengan itu hubungan Gerwani dengan PKI pun dinyatakan secara terbuka. Tentang pergeseran haluan ini dapat dirunut dari sejak kampanye Pemilu 1955, sampai diangkatnya tema-tema Komunis sejak tahun 1961, dan akhirnya mundur para tokoh “feminis” dari organisasi, seperti misalnya S.K Trimurti. Pada Juni 1954 Umi Sarjono dan beberapa tokoh pimpinan Gerwani lainnnya sudah menyokong sejumlah calon PKI, yang tak semuanya anggota partai (lihat HR Juni 1954). Lima anggota Gerwani terpilih sebagai pengisi daftar calon PKI, mereka itu ialah: Suharti Suwarto, Ny.Mudigdio, Salawati Daud, Suwardiningsih, Maemunah, dan Umi Sarjono (HR 19 Juli 1955). Kemudian di parlemen Umi Sarjono bergabung dalam Fraksi Pembangunan non-Partai Suprapto SH. Dalam Pemilu untuk MPR lebih banyak lagi anggota Gerwani terpilih pada daftar PKI: Ny. Amir Syarifuffin, Ny. D.D.Susanto, Suwardiningsih, Setiati Surasto, Suwarti, Maemunah, Sundari, sebagai lima perempuan PKI, termasuk Nuraini. Para anggota Gerwani menyokong PKI karena mereka merasa bahwa program PKI menjamin emansipasi dan hak sama untuk perempuan. Dari tahun 1960 dan seterusnya Gerwani makin di bawah naungan ideologi partai, walau partai sendiri tidak terlalu banyak memperhatikan persoalan perempuan. Oleh PKI persoalan perempuan tidak termasuk dalam masalah “umum” karena,  bukanlah seks yang menjadi penyebab ketimpangan dalam masyarakat, diskriminasi terhadap kaum wanita …tetapi semuanya ini merupakan bagian dari sistem penindasan yang didasarkan atas pembagian kelas dalam masyarakat

(Sundari Surachman HR 18 Mei 1960)


Pada 1961 rupanya Gerwani mulai mengambil pendirian demikian itu. Perayaan 8 Maret 1961, misalnya, didominasi oleh soal-soal imperialisme dan kolonialisme. Diserukan kepada para anggota agar berjuang demi “perdamaian”, (ini sesuai dengan perjuangan “pembebasan” Irian Barat, yang dalam hal ini Gerwani tidak menyokong pendirian damai sama sekali. Sampai konforntasi dalam GWDS, tuntutan Gerwani tentang “perdamaian” hanya dapat dipahami menurut pengertian Uni Soviet tentang konsep ini) dan memperkuat persatuan nasional di kalangan perempuan untuk “melenyapkan sisa-sisa kolonialisme dan feodalisme”. 

Dikutip dari hal 20 – 21 dan 359 – 361

Penghancuran Gerakan Perempuan

di Indonesia oleh Saskia Eleonora Wieringa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar