Selasa, 21 Juli 2009

MASIH RELEVANKAH AJARAN SYEKH SITI JENAR DEWASA INI?

Oleh: Ir. Achmad Chodjim, MM*

Note :
* Ir. Achmad Chodjim adalah penulis buku Syekh Siti jenar: Makna Kematian 
(jilid 1), Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan (jilid 2) dan 
Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga.
isampaikan pada seminar budaya "culture and Indonesianess" dengan tema 
"Agama Ageming Aji". Di Hotel Indonesia Kempinski - Grand Indonesia, 19 Mei 
2009.

Seri 4/4 - Terakhir
Tentang Ajaran Pokok Syekh Siti Jenar

Ajaran pokok yang ketujuh: nama Tuhan diberikan oleh manusia. Lima ratus tahun yang lalu Syekh telah menyatakan dengan tegas bahwa manusialah yang memberikan nama pada Tuhan. Oleh karena itu, nama bagi Tuhan bermacam-macam sesuai dengan bahasa dan bangsa yang menamai-Nya. Dan, perlu diketahui bahwa Tuhan sendiri sebenarnya tidak perlu nama, karena Dia hanya satu adanya. Sesuatu diberi nama karena untuk membedakan dengan sesuatu lainnya. Nama diberikan agar kita tidak keliru tunjuk atau salah sebut.
Bagi Syekh Siti Jenar, apapun sebutan yang diberikan kepada-Nya haruslah sebutan yang terpuji, yang baik, yang pantas. Bahkan dalam Alquran dinyatakan dengan tegas pada Q. 7:180 bahwa manusia diperintah untuk memohon kepada-Nya dengan nama-nama baik-Nya, atau al-asmâ-u l-husnâ. Dan, pada Q.17:110 dinyatakan bahwa Dia dapat diseru dengan nama Allah, Ar Rahman, atau dengan nama-nama baik-Nya yang lain.
Sungguh, sangat mengherankan bila di zaman sekarang ini kita berebut nama Tuhan. Secara teoritis umat Islam dididik untuk meyakini bahwa Tuhan itu Yang Maha Esa. Tetapi, dalam kenyataannya sebagian orang Islam –seperti yang terjadi di Malaysia– malah meminta orang yang beragama lain untuk tidak menggunakan lafal Allah bagi sebutan Tuhan pada agama lain tersebut. Inilah pemahaman yang salah! Kalau kita –yang Muslim— menolak pemeluk agama lain menyebut Allah bagi Tuhannya, maka secara tak sadar kita mengakui bahwa Tuhan itu lebih dari satu.
Sudah waktunya kita ajarkan ketuhanan dengan benar sehingga kita tidak berebut tulang tanpa isi. Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa mengamalkan nilai-nilai ketuhanan dengan benar itulah yang amat penting dalam hidup ini. Bagi orang Indonesia, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai ketuhanan dengan benar merupakan penegakan Sila yang pertama.

Ajaran pokok yang kedelapan: raja agama sesungguhnya raja penipu. Sebagaimana telah diterangkan bahwa agama adalah jalan hidup. Oleh karena itu, agama harus diajarkan untuk menjadi jalan hidup, sehingga pemeluk agama bisa hidup tenang, bahagia dan bersemangat dalam menjalani hidup. Agama harus diajarkan untuk menjadi landasan moral dan perilaku, sehingga agama benar-benar sebagai nilai luhur dan menjadi rahmat bagi semesta alam.

Syekh tidak ingin membohongi masyarakat Jawa, oleh karena itu agama islam diajarkan dengan cara yang pas bagi bumi dan manusia Jawa. Untuk hal itu diperlukan penafsiran, dan tidak disebarkan dalam bentuk budaya asalnya. Agama tidak disebarkan dengan kekuasaan raja, sebab menurut Syekh raja yang memanfaatkan agama adalah raja penipu. Sering terjadi bahwa untuk memenuhi kepentingan penguasa, agama dijadikan alat menguasai rakyat. Agama yang seharusnya dikuasai oleh rakyat, yang terjadi justru sebaliknya yaitu rakyat yang dikuasai oleh agama.

Jika di Eropa pada abad ke-19 orang-orang mulai mempertanyakan peranan agama, dan bahkan ada yang memandang bahwa agama sebagai candu bagi masyarakat dan harus disingkirkan dari gelanggang kehidupan bernegara, maka empat ratus tahun sebelumnya Syekh Siti Jenar justru ingin menerapkan agama sebagai penyegar dan pencerah bagi pemeluknya. Oleh karena itu, agama diajarkan tanpa melibatkan kekuasaan negara. Di sinilah Syekh bertabrakan dengan kepentingan Walisanga.
Syekh amat sadar bahwa di dunia ini penuh dengan tipu daya. Hampir di semua negara pada waktu itu terjadi relasi keuasaan antara raja/penguasa dengan para tokoh agama. Dengan kata lain, raja dan tokoh agama berbagi kekuasaan. Yang dikuasai dan yang dijadikan pijakan hidup oleh raja dan tokoh agama adalah rakyat. Inilah yang oleh Syekh disebut sebagai penipuan. Oleh karena itu, sudah waktunya agar agama benar-benar menjadi milik masyarakat, dan negara tidak mengurusi agama. Yang diurusi oleh negara adalah tegaknya hukum positif, perlindungan bagi setiap orang tanpa memandang agama dan kepercayaannya. Yang diurusi oleh negara adalah kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Ajaran pokok yang kesembilan: segala sesuatu di alam semesta adalah Wajah-Nya. Inilah ajaran puncak dari Syekh Siti Jenar. Dunia adalah manifestasi wujud yang satu, dan hakikat keberadaan bukanlah dualitas. Sehingga, kemana pun kita hadapkan diri kita, maka sesungguhnya kita senantiasa menghadap Wajah-Nya. Semua adalah penampakan Wajah-Nya. Sekarang marilah kita cicipi dua bait puisi dari Syekh Siti Jenar.

Bersanggama dalam keberadaan
diliputi yang ilahi
hilanglah kehambaannya
lebur lenyap sirna lelap
digantikan keberadaan Ilahi
kehidupannya
adalah hidup Ilahi

Lahir batin keberadaan sukma
yang disembah Gusti
Gusti yang menyembah
sendiri menyembah-disembah
memuji-dipuji sendiri
timbal balik
dalam hidup ini

Jadi, pada puncak perenungan dan keheningan diri terjadilah penegasian eksistensi diri yang terkurung raga. Ditegaskan bahwa kehambaan telah lenyap, sudah hilang. Bila kehambaan masih tetap eksis maka di alam semesta ini masih berada dalam keadaan dualitas. Keadaan inilah yang menyebabkan orang terpisah dengan Tuhannya, meskipun secara konseptual diketahui bahwa Sang Pencipta lebih dekat daripada urat lehernya. Akan tetapi, selama keadaan dualitas belum sirna maka secara faktual Tuhan masih jauh daripada urat lehernya, karena Tuhan dianggap berada di luar dirinya.

Ada dualitas artinya kita mengakui ada dua keberadaan, yaitu ada yang inferior (keberadaan yang kualitasnya lebih rendah) dan ada yang superior (keberadaan yang kualitasnya lebih tinggi). Jika demikian, kedua jenis keberadaan itu tumbuh melalui proses. Semua yang tumbuh melaui suatu proses, bukanlah keberadaan yang kekal. Dan, bilamana tiada keberadaan yang kekal, maka tak mungkin ada fenomena atau penampakan di alam semesta.

Kita hidup di dunia ini karena kita kanggonan (didiami) urip (hidup) yang diberikan oleh Tuhan. Namun, badan jasmani ini hanyalah fenomena yang terikat oleh ruang, waktu, situasi psikologis. Hakikatnya badan jasmani ini tidak ada karena badan jasmani ini seperti gambar yang menumpang di layar perak atau layar kaca. Kalau layar digulung atau dimatikan ya lenyaplah fenomena tersebut. Jadi, memang benar bahwa dunia ini panggung sandiwara, dan kita adalah pemain-pemain sandiwara. Oleh karena itu, kita harus dapat memainkan peran kita masing dengan baik.

Lalu, apa sasaran utama pelenyapan dualitas? Sasaran pokoknya adalah menumbuhkan kesadaran akan ke-Satu-an, Oneness, dalam kehidupan ini, baik kehidupan kita sebagai individu maupun secara kolektif. Dengan lenyapnya perasaan dualitas dalam hidup ini, maka jarak antara kawula dan Gusti akan hilang. Akan lahir individu-individu yang menjadi dirinya sendiri, dan dalam kehidupan sosial akan tercipta interaksi antar warganya secara tim, sehingga semua akan memenuhi fungsinya masing-masing dalam kehidupan. Sekat antara pemimpin dan yang dipimpin akan hilang, dinding penyekat antara raja dan rakyatnya akan runtuh. Bila ini sudah terjadi, maka tak akan ada lagi eksploitasi terhadap sesama manusia.

Pelenyapan sekat antara kawula (hamba, rakyat, atau bawahan) dan Gusti (raja, pemimpin, atau atasan) akan melahirkan satu keberadaan yang disebut Manunggaling Kawula Gusti. Keberadaan MKG ini akan menggugurkan kehidupan yang berkasta dan merontokkan feodalisme. Relasi sesama manusia berupa simbiose mutualisme, yaitu hubungan yang saling menguntungkan. Sesama manusia hidup dalam suasana liberte, egalite dan fraternite, yaitu hidup dalam kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan antara sesama manusia di dunia ini. Dari sinilah Syekh membangun hubungan warga dengan wadah yang disebut masyarakat, yang tidak dijumpai di Timur Tengah pada waktu itu.

Memang masyarakat merupakan kosa kata yang dibentuk dari unsur-unsur kata Arab, yaitu dari syarika yang artinya menjadi sekutu; dan masyarakat adalah kumpulan orang-orang yang bersekutu. Jadi, setiap anggota masyarakat itu seperti sel-sel tubuh yang independen, namun selalu berinteraksi sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Setiap anggota masyarakat mengetahui tugasnya. Terciptalah jalinan kasih. Inilah surga yang sesungguhnya yang harus diwujudkan di dunia ini. Dengan demikian, konsep MKG sebenarnya untuk menciptakan kehidupan bersama dalam mencapai kejayaan!

SELESAI...

Artikel lengkapnya bisa diunduh, pls klick :
http://ferrydjajapr ana.multiply. com/reviews/ item/53

Gerakan 30 September dan kudeta Suharto

Buku penting John Roosa :

Diterbitkannya terjemahan dalam bahasa Indonesia buku John Roosa dengan judul “Dalih pembunuhan massal. GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO”merupakan sumbangan besar sekali bagi semua kalangan dan golongan untuk menambah pengenalan mereka terhadap masalah besar yang sudah membikin sengsaranya puluhan juta warganegara Indonesia oleh Orde Baru selama berpuluh-puluh tahun. 


Yang berikut di bawah ini adalah sebagian dari dari kata pendahuluan dari buku tersebut, sedangkan bagian selebihnya dapat dibaca dalam website http://kontak.club.fr/index.htm.


A. Umar Said

=============



Sebagian dari kata pendahuluan tersebut adalah yang berikut : 


Bagi sejarawan yang ingin memahami perjalanan sejarah Indonesia modern, hal yang terkadang menimbulkan rasa frustasi ialah justru karena kejadian yang paling misterius ternyata merupakan satu babak kejadian yang terpenting. Pada dinihari 1 Oktober 1965, menteri panglima Angkatan Darat (Menpangad Letnan Jenderal Ahmad Yani dan 5 orang staf umumnya diculik dari rumah-rumah mereka di Jakarta, dan dibawa dengan dengan truk ke sebidang areal perkebunan di selatan kota. Para penculik membunuh Yani dan dua jenderal lainnya pada saat penangkapan berlangsung. Tiba di areal perkebunan beberapa saat kemudian pada pagi hari itu, mereka membunuh tiga jenderal lainnya dan melempar enam jasad mereka ke sebuah sumur mati. Seorang letnan, yang salah tangkap dari rumah jenderal ketujuh yang lolos dari penculikan, menemui nasib dilempar ke dasar sumur yang sama. 


Pagi hari itu juga orang-orang di balik peristiwa pembunuhan ini pun menduduki stasiun pusat Radio Repubmik Indonesia (RRI) dan melalui udara menyatakan diri sebagai anggaota pasukan yang setia kepada presiden Sukarno. Adapun tujuan aksi yang mereka umumkan ialah untuk melindungi presiden dari komplotan jenderal kanan yang akan melancarkan kudeta.


Mereka menyebut nama pimpinan mereka, Letnan Kolonel Untung, komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Cakrabirawa, yang bertangungjawab mengawal presiden, dan menamai gerakan mereka Gerakan 30 September (selanjutnya disebut sebagai G-30-S).


Dalam sebuah unjuk kekuatan, ratusan prajurit pendukung G-30-S menduduki lapangan Merdeka (sekarang lapangan Monas) di pusat kota. Lalu pada sore dan petang hari 1 Oktober, seperti menanggapi isyarat dari Jakarta, beberapa pasukan di Jawa Tengah menculik 5 perwira pimpinan mereka. Kesuliatn memahami G- 30-S antara lain karena gerakan tersebut sudah kalah sebelum kebanyakan orang Indonesia mengetahui keberadaannya.


Gerakan 30 September tumbang secepat kemunculannya. Dengan tidak adanya Yani, Mayor Jenderal Suharto mengambil alih komando Angkatan Darat pada pagi hari 1 Oktober, dan pada petang hari ia melancarkan serangan balik. Pasukan G-30-S meninggalkan stasion RRI dan lapangan Merdeka yang sempat mereka duduki selama 12 jam. Semua pasukan pembrontak akhirnya ditangkap atau melarikan diri dari Jakarta pada pagi hari 2 Oktober.


Di Jaxwa Tengah, G-30-S hanya bertahan sampai 3 Oktober. Gerakan 30 September lenyap sebelum anggoata-anggotanya sempat menjelaskan tujuan mereka kepada publik. Pimpinan G-30-S bahkan belum sempat mengadakan konferensi pers dan tampil memperlihatkan diri di depan kamera fotografer. Kendati bernafas pendek, G-30-S mempunyai dampak sejarah yang penting. Ia menandai awal berakhirnya masa kepresidenan Sukarno, sekaligus bermulanya kekuasaan Suharto. Sampai saat itu Sukarno merupakan satu-satunya pemimpin nasional yang paling terkemuka selama dua dasa warsa lebih, yaitu dari sejak ia bersma peminpîn nasional lain Mogomad Hatta, pada 1945 mengumumkan kemerdekaan Indonesia.Ia satu-satunya presiden negara-bangsa baru itu.


Dengan karisma, kefasihan lidah, dan patriotismenya yang menggelora, ia tetap sangat populer di tengah-tengah semua kekacauan politik dan salahurus perekonomian pasca-kemerdekaan. Sampai 1965 kedudukannya sebagai presiden tidak tergoyahkan. Sebagai bukti popularitasnya, baik G-30-S maupun Mayor Jenderal Suharto berdalih bahwa segala tindakan yang mereka lakukan merupakan langkah membela Sukarno. Tidak ada fihak manapun yang berani memperlihatkan pembangkannya terhadap Sukarno.


Suharto menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Sukarno, sambil melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan. Pengambilalihan kekuasaan negara oleh Suharto secara bertahap, yang dapat disebut sebagai kudeta merangkak, dilakukannya di bawah selubung usaha untuk mencegah kudeta. Kedua belah fihak tidak berani menunjukkan ketidaksetiaaan terhadap presiden. Juga bagi presiden Sukarno aksi G-30-S itu sendiri disebutnya sebagai “riak kecil di tengah samudera besar Revolusi (naional Indonesia), “ sebuah peristiwa kecil yang dapat diselesaikan dengan tenang tanpa menimbulkan guncangan besar terhadap struktur kekuasaan, bagi Suharto peristiwa itu merupakan tsunami pengkhianatan dan kejahatan, yang menyingkapkan adanya kesalahan yang sangat besar pada pemerintahan Sukarno.


Suharto menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) mendalangi G-30-S, dan selanjutnya menyusun rencana pembasmian terhadap orang-orang yang terkait dengan partai itu. Tentara Suharto menangkapi satu setengah juta orang lebih, Semuanya dituduh terlibat dalam G-30-S. Dalam salah satu pertumpahan darah terburuk dalam abad keduapuluh, ratusan ribu orang dibantai Angkatan Darat dan milisi yang berafiliasi dengannya, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Baki, dari akhir 1965 sampai pertengahan 1966.


Dalam suasana darurat nasional, tahap demi tahap Suharto merebut kekuasaan Sukarno dan menempatkan dirinya sebagai presiden de facto (dengan wewenang memecat dan mengangkat para menteri) sampai Maret 1966.


Geralan 30 September, sebagai titik berangkat kejadian berkait kelindan yang bermuara pembunuhan massal dan 32 tahun kediktatoran, merupakann salah satu di antara kejadian-kekejadian penting dalam sejarah Indonesia, setara dengan pergantian kekuasaan negara yang terjadi sebelum dan sesudahnya : proklamasi kemerdekaan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 dan lengsernya Suharto pada 21 Mei 1998.


Bagi kalangan sejarawan, G-30-S tetap merupakan misrteri. Versi resmi rezim Sujharto – bahwa G-30-S adalah percobann kudeta PKI - tidak cukup meyakinkan. Sukar dipercaya bahwa partai politik yang beranggotakan orang sipil semata-mata dapat memimpin sebuah operasi militer. Bagaimana mungkin orang sipil dapat memerintah personil militer untuk melaksanakan keinginan mereka ? Bagaimana mungkin sebuah partai yang terorganisasi dengan baik, dengan reputasi sebagai partai yang berdisiplin tinggi, merencanakan tindak amatiran semacam itu ? Mengapa partai komunis yang dipimpin prinsip-prinsip revolusi Leninis mau berkomplot dalam pûtsch oleh sepasukan tentara ? Mengapa partai politik yang sedang tumbuh kuat di pentas politik terbuka memilih aksi konspirasi? Agaknya tak ada alasan ke arah sana.


Di lain fihak, sukar dipercaya bahwa G-30-S seperti dinyatakannya dalam siaran radio yang pertama “semata-mata dalam tubuh Angkatan Darat” karena memang ada beberapa tokoh PKI yang jelas ikut memimpin G-30-S bersama beberapa orang perwira militer. Sejak hari-hari Oktober 1965, masalah siapa dalang di belakang peristiwa ini telah menjadi perdebatan yang tak kunjung reda. Apakah perwira militer itu bertindak sendiri sebagaimana mereka nyatakan, dan kemudian mengundang atau bahkan menipu beberapa tokoh PKI agar membantu mereka? Ataukan, justru PKI yang menggunakan sementara perwira militer ini sebagai alat pelakana rencana mereka, sebagaimana yang dikatakan Suharto.? Atau, adakah semacam modus vivendi antara para perwira militer tersebnut dan PKI?


Perdebatan juga timbul sekitar hubungan Suharto dengan G-3O-S. Bukti-bukti tidak langsung memberikan kesan bahwa para perencana G-30-S setidaknya mengharapkan dukungan Suharto; mereka tidak mencantumkan Suharto dalam daftar jenderal yang akan diculik, dan juga tidak menempatkan pasukan di sekeliling markasnya. Dua perwira di antara pimpinan G-30-S adalah sahabat-sahabat pribadi Suharto.. Salah seorang, yaitu Kolonel Abdul Latief, mengaku memberitahu Suharto tentang G-30-S sebelumnya dan mendapat restu darinya secara diam-diam.


Benarkah Suharto sudah diberitahu sebelumnya? Informasi apa yang diberikan G30S kepadanya, apa tanggapan Suharto terhadap informasi itu? Apakah ia menjanjikan dukungan atau melangkah lebih jauh dan membantu merencanakan operasi G30S? Apakah ia dengan licik menelikung G30S agar dapat naik ke tampuk kekuasaan ? Sampai sekarang dokumen utama yang ditinggalkan oleh G30S hanyalah empat pernyataan yang disiarkan RRI Pusat pada pagi dan siang hari 1 Okober 1965. Pernyataan-pernyataan itu menampilkan wajah G30S di depan publik dan tentu saja tidak mengungkap pengorganisasian di balik layar dan tjujuan yang mendasarinya.


Sesudah tertangkap, para pîmpinan kunci G30S tidak mengungkap banyak hal. Kesaksian mereka didepan pengadilan yang dikenal sebagai Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) lebih mencerminkan keterdesakan sangat untuk mernolak segala dakwaan, ketimbang menjelaskan secara rinci tentag bagaimana dan mengapa G30S dilancarkan. Para terdakwa, dapat dimengerti, memilih tutup mulut,berbohong, tidak sepenuhnya berkata benar, dan menghindar demi melindungi diri sendiri dan kawan-kawan mereka, atau melempar kesalahan kepada orang lain.


Baik penuntut umum maupun hakim tidak ambil using untuk mengorek kesaksian-kesaksian merela yang saling bertentang–tentangan ; pengadilan memang tidak dimaksudkan untuk mennyelidiki kebenaran atas peristiwa tersebut. Semua hanyalah pengadilan sandiwara belaka. Tidak satu orang pun yang dibawa ke Mahmilub dibebaskan dari tuntutan. Dari lima orang pimpinan utama G-30-S, kecuali satu orang, semuanya dinyatakan terbukti berkhianat, dijatuhi hukuman mati, dan dieksekusi oleh regu tembak, sehingga dengan demikian menutup setiap kemungkinan mereka muncul kembali dengan keterangan baru yang lebih rinci dan akurat tentang gerakan mereka. 


(Keterangan : Tulisan di atas ini disingkat dari kata pendahuluan buku ““Dalih pembunuhan massal. GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO” Akan diusahakan supaya dalam website http://kontak.club.fr/index.htm bisa disajikan cuplikan dari bagian-bagian lain dari buku yang sangat penting ini).

Peristiwa 65, Suharto dan Bung Karno

Catatan A. Umar Said


Menjelang datangnya ulangtahun peristiwa 65 akhir September, website http://kontak.club.fr/index.htm secara berturut-turut akan menyajikan berbagai tulisan, artikel atau bahan-bahan yang berkaitan dengan kejadian yang amat penting dalam seluruh sejarah bangsa Indonesia. Penyajian bahan-bahan ini dimaksudkan sebagai usaha untuk mengajak orang untuk tidak saja mengenang kembali peristiwa besar yang merupakan pengkhianatan Suharto dkk terhadap Bung Karno dan revolusi rakyat Indonesia dalam menentang nekolim (neokolonialisme imperialisme) yang dikepalai oleh imperialisme AS., melainkan juga sekaligus untuk merenungkan kembali berbagai kebengisan dan kebiadaban sejumlah golongan, yang di bawah pimpinan Angkatan Darat telah melakukan pelanggaran HAM yang besar dan serius sekali, yaitu pembantaian besar-besaran terhadap golongan kiri, terutama terhadap anggota-anggota dan simpatisan PKI.

Pengkhianatan Suharto dkk terhadap Bung Karno yang sejak mudanya sudah berjuang melawan anti-imperialisme dan juga pelanggaran HAM secara besar-besaran terhadap golongan “kiri” perlu terus-menerus diingat oleh bangsa kita, sehingga menjadi pelajaran berharga bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Mengenang kembali pengkhianatan Suharto dkk terhadap Bung Karno dan mengutuk pelanggaran HAM terhadap jutaan orang-orang “kiri” yang tidak bersalah apa-apa sama sekali adalah suatu hal yang benar, atau sikap yang adil dan bahkan terpuji. Sebaliknya, menyetujui atau membenarkan pengkhianatan Suharto dkk terhadap Bung Karno adalah sikap politik yang salah. Lebih-lebih lagi (!!!) , menyetujui, atau membenarkan, atau - bahkan ! - hanya “berdiam diri” saja terhadap pelangggaran HAM yang begitu besar terhadap orang tidak berdosa yang begitu banyak jumlahnya, dan dalam waktu yang begitu lama pula, adalah suatu hal yang menunjukkan kerendahan budi dan kebusukan iman.

Bangsa kita tidak beradab, kalau .....

Jelaslah kiranya bahwa bangsa kita tidak bisa menamakan diri sebagai bangsa yang beradab atau bahkan tidak pantas sama sekali mengagungkan diri sebagai bangsa terhormat selama masih menganggap bahwa pembantaian jutaan orang yang dianggap “kiri” atau dituduh anggota dan simpatisan PKI atau penganut politik revolusioner Bung Karno adalah benar, atau sah, atau adil. Atau, jelaslah juga bahwa bangsa kita tidak bisa dikatakan sebagai menghormati Pancasila selama masih gembira (atau tidak peduli saja) atas berbagai macam penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi terhadap puluhan juta keluarga korban peristiwa 65 yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kita semua sama-sama bisa mengamati bahwa sekarang ini pandangan berbagai kalangan terhadap Bung Karno sudah mulai berobah, dan bahwa usaha Orde Baru untuk merusak nama baik dan menghilangkan jasa-jasa besar bapak bangsa ini sudah mulai mengalami kemunduran atau kegagalan. Sebaliknya, kita juga sama-sama menyaksikan, dimana-mana, bahwa dewasa ini citra Suharto dkk bersama Orde Barunya sudah makin buruk. Banyak orang, sekarang ini, melihat betapa besar bedanya antara sosok Bung Karno dan sosok Suharto, dan antara politik anti-nekolim Bung Karno dan politik pro-imperialisme AS yang dianut oleh Orde Baru. Kerusakan moral secara besar-besaran dan kebejatan akhlak yang menyebabkan keadaan politik, sosial dan ekonomi negara kita terpuruk sampai dewasa ini di bawah pemerintahan SBY-JK adalah akibat dari sisa-sisa sistem Orde Baru, yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan pasca-Suharto.

Mengutuk Orde Baru demi rekonsiliasi nasional dan persatuan bangsa

Dari sudut pandang yang demikian inilah kita bisa melihat dengan jelas bahwa mengenang peristiwa 65 dan mengekspose berbagai kejahatan atau keburukan Suharto dkk dengan Orde Barunya adalah tugas penting dan kewajiban yang utama sekali bagi seluruh kekuatan yang mendambakan adanya perubahan-perubahan yang besar dan fundamental yang diperlukan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Bangsa kita tidak akan pernah bisa menjadi bangsa yang terhormat selama masih belum meninggalkan sama sekali segala keburukan dan kesalahan Orde Baru yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan. Perbaikan atau perubahan secara besar-besaran di negara kita tidak mungkin akan terlaksana tanpa membongkar segala keburukan dan kebusukan Orde Baru dan penerusnya atau pewarisnya. 

Jadi, sekali lagi perlu ditekankan dalam tulisan kali ini, bahwa mengutuk Suharto beserta rejim Orde Barunya adalah sama sekali bukanlah hanya karena pelampiasan perasaan balas dendam, atau hanya membuka luka-luka lama yang parah sekali karena berbagai penderitaan bagi puluhan juta orang, dan bukan pula dengan tujuan untuk menyengsarakan keluarga Suharto beserta pendukung-pendukung setianya. Mengenang peristiwa 65 atau membelejedi (menelanjangi) kejahatan-kejahatan Suharto dkk adalah langkah penting untuk benar-benar meletakkan dasar-dasar bagi terjadinya rekonsiliasi nasional, dan betul-betul memupuk persatuan bangsa atas landasan yang adil bagi semua. 

Sebab, rekonsiliasi nasional yang sejati dan persatuan bangsa yang sungguh-sungguh hanyalah bisa dijalin kalau segala kesalahan besar Suharto beserta dosa-dosa parah Orde Barunya sudah dibongkar habis-habisan atau dikutuk sekeras-kerasnya. Adalah omong kosong belaka atau bualan besar saja kalau ada kalangan yang berbicara tentang rekonsiliasi nasional atau persatuan bangsa tetapi membiarkan dosa-dosa Suharto dkk dengan Orde Barunya, karena sekarang makin terbukti bahwa ia (beserta pendukung-pendukung setianya) telah membikin kerusakan-kerusakan parah terhadap negara dan sebagian besar rakyat Indonesia. Dan juga jelaslah bahwa rekonsiliasi nasional atau persatuan bangsa sulit dijalin, kalau puluhan juta keluarga korban peristiwa 65 masih tetap terus dibiarkan dirundung berbagai penderitaan yang sudah mereka alami selama lebih dari 40 tahun.

Kami tidak bersalah dan kalianlah yang berdosa

Perbaikan atau perubahan besar di bidang politik, sosial dan ekonomi yang bisa menguntungkan kepentingan rakyat banyak di Indonesia hanyalah akan tercapai dengan memberantas segala sisa-sisa buruk dari sistem Orde Baru yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan sesudah Suharto. Artinya, - dengan kalimat lain - untuk bisa mambawa Indonesia ke arah masyarakat adil dan makmur, orang-orang yang bermoral rendah dan bermental Orde Baru harus - untuk selanjutnya - dicegah mengurus negara, baik di Pusat maupun di daerah. 

Peristiwa 65 akan kita peringati tahun ini ketika sudah makin berkurang kalangan atau golongan yang masih berani berkaok-kaok dengan terang-terangan mengagung-agungkan Suharto dan memuji-muji “kehebatan” rejim Orde Baru. Sesudah Suharto dipaksa “turun dari tahta”nya sejak tahun 1998, sedikit demi sedikit terbongkarlah macam-macam kejahatan rejimnya, baik yang merupakan pelanggaran HAM yang amat serius maupun korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, yang terutama dilakukan oleh kalangan militer dan Golkar. Oleh karena itu, boleh dikatakan, bahwa sekarang ini, membela Suharto dkk atau membela Orde Baru sudah mulai menjadi “sikap yang aneh”.

Sebaliknya, orang dari berbagai kalangan dan golongan (termasuk yang tadinya mendukung Suharto karena terpaksa atau karena sebab-sebab lainnya) makin banyak yang berani mengutuk rejim Orde Baru dan yang melihat perbedaaan yang besar sekali antara sejarah perjuangan revolusioner Bung Karno dengan sejarah pengkhianatan Suharto dkk terhadap rakyat dan revolusi. Juga, makin banyak orang yang melihat bahwa karena akibat sikap politik Suharto beserta para pendukung setianyalah maka keadaan negara kita begini ambrul-adul dan dilanda berbagai masalah besar, sehingga sebagian terbesar dari rakyat Indonesia yang 230 juta ini mengalami berbagai penderitaan. Banyak orang yang menyaksikan atau mengalami sendiri bahwa kehadiran Suharto beserta Orde Barunya selama 32 tahun merupakan halaman hitam yang penuh dengan dosa atau aib besar dalam sejarah bangsa Indonesia. 

Karenanya, sekarang dalam tahun 2008 ini, para pendukung Bung Karno dan kaum kiri beserta keluarga korban peristiwa 65, berhak dan pantas dengan suara yang lantang dan galak berteriak: “Kami sama sekali tidak bersalah apa-apa, tetapi justru kalianlah yang bersalah dan berdosa !”. Dengan makin terbongkarnya banyak sekali borok-borok yang busuk karena merajalelanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang kebanyakan dilakukan oleh orang-orang bermoral bejat dari kalangan pendukung Orde Baru dan anti-Bung Karno, maka makin mulai matanglah situasi bagi seluruh kekuatan demokratis (terutama dari kalangan muda) yang mendambakan perubahan besar dan fundamental di Indonesia untuk bangkit bersama dan melancarkan seruan “Minggirlah kalian yang bermental Orde Baru, perusak negara! Indonesia tidak membutuhkan orang-orang macam kalian. Kamilah yang akan membangun masyarakat adil dan makmur di Indonesia Baru !!!”. 


Paris, 5 September 2008

“Momok komunis” yang mulai bangkit

Catatan A. Umar Said

Mohon kepada para pembaca untuk mencermati dan merenungkan bersama-sama isi pernyataan KASAD, Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo, di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya tentang « Upaya kebangkitan komunis makin nyata » yang diuacapkannya pada tahlil di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya Jakarta.


Sebab, pernyataan KASAD Jenderal Agustadi (harap baca berita Antara di bawah ini) memberikan petunjuk yang jelas bahwa sampai pada saat ini TNI (yang dulunya dinamakan ABRI) pada dasarnya masih sama saja dengan yang sewaktu di bawah pimpinan Suharto selama zaman Orde Baru, yaitu sebagai aparat yang reaksioner sekali di negara kita.


Berita tersebut antara lain berbunyi sebagai berikut :



Upaya Kebangkitan Komunis Makin Nyata, kata Kasad 

Jakarta (ANTARA News) - Upaya membangkitkan ideologi komunis yang diusung Partai Komunis Indonesia (PKI) 43 tahun silam, kini semakin nyata, kata Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Agustadi Sasongko Purnomo. 

"Kita makin merasakan berbagai upaya sistematis untuk menghidupkan paham komunis di Indonesia," katanya, dalam sambutannya pada tahlil dan doa bersama mengenang wafatnya tujuh pahlawan revolusi di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya, Jakarta, Selasa. 

Kasad Agustadi mengatakan, berbagai upaya nyata dan sistematis untuk menghidupkan kembali paham komunis antara lain pemasangan gambar dan slogan komunis pada media tembok, kaos dan media lainnya. 

Selain itu, tambah Agustadi, ada upaya sekelompok pihak dan golongan yang ingin menghambat dan menyimpangkan tujuan bangsa dan negara berdasarkan paham persatuan dan kesatuan berdasarkan Pancasila dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Tidak itu saja, lanjut dia. Upaya-upaya memecah soliditas TNIB Angkatan Darat khususnya, dan TNI sebagai `musuh` kelompok PKI juga makin nyata, sistematis dan transparan. 

"Upaya-upaya itu sangat sistematis dan transparan. Sehingga kita harus tetap mewaspadai segala upaya tersebut yang dilakukan simpatisan dan pengikut paham komunis," kata Kasad. 

Karena itu, tanpa ingin mengungkap luka lama dan menyebarkan dendam, maka semua pihak harus dapat mewaspadai segala upaya yang sistematis tersebut dengan tetap memegang teguh dasar negara Pancasila, asas persatuan dan kesatuan secara hati-hati, arif dan bijaksana, demikian Agustadi. (Antara, 30 September 2008)


Barang dagangan yang sudah usang

Pernyataan KASAD di malam tahlilan di Lubang Buaya malam tanggal 1 Oktober itu membuktikan bahwa walaupun Suharto sudah meninggal, “momok bahaya laten komunis” yang sudah diuar-uarkan dengan gencar dan terus-menerus selama puluhan tahun, sekarang masih dicoba untuk dijajakan terus seperti barang dagangan yang sudah usang dan makin tidak laku baik di Indonesia maupun di banyak negeri di dunia. 


Kita masih sama-sama ingat bahwa dalam jangka lama (puluhan tahun !!!) “momok bahaya laten komunis” telah dipakai rejim Orde Baru untuk menipu dan menakut-nakuti rakyat dengan tujuan untuk menjaga stabilitas dominasi rejim militer dan untuk mengintimidasi segala kritik, kecaman, atau perlawanan terhadap Suharto dkk. “Momok bahaya laten PKI” terus-menerus ditiup-tiupkan secara luas dan sistematis melalui berbagai cara dan jalan atau bentuk (antara lain : indoktrinasi, keharusan menonton film G30S/PKI, didirikannya monumen-menumen, diaporama, dan paksaan untuk kursus Pancasila dll dll.) 


Dan karena hebatnya propaganda tentang “bahaya PKI” ini, yang dilakukan oleh pemerintah dan juga media massa (TV, suratkabar dan majalah) maka,tidak sedikit orang yang terkecoh atau “termakan” olehnya. Dalam sejarah dunia, jarang ada penguasa negara yang melakukan pembunuhan massal sampai jutaan komunis, dan memenjarakan secara sewenang-wenang ratusan ribu orang tidak bersalah dan menyengsarakan puluhan juta orang keluarga para korban peristiwa 65 selama puluhan tahun (ingat : sampai sekarang !!!). Hanyalah Hitler, Franco, dan tokoh-tokoh reaksioner dan pro-AS (antara lain berbagai diktator militer di Amerika Latin seperti Pinochet ) yang telah melakukan hal-hal yang mirip dan setujuan dengan apa yang dilakukan Suharto.


Mengapa terus ditiup-tiupkan “momok komunis”


“Momok bahaya laten PKI” dipakai juga untuk menutupi dosa-dosa besar segolongan militer di bawah pimpinan Suharto dkk dan sekaligus juga berusaha “membenarkan” pelanggaran Ham yang luar biasa besarnya itu. Itulah sebabnya, ketika kekuatan PKI yang besar sekali sebagai pendukung Bung Karno sudah dihancurkan, selama puluhan tahun masih terus juga digembar-gemborkan “bahaya laten PKI”. “Bahaya momok PKI” juga digunakan dengan tujuan untuk mengintimidasi atau melumpuhkan kekuatan pendukung Bung Karno. Dalam banyak hal, Suharto dkk menghantam terus “bahaya PKI” sebenarnya berarti juga menghantam Bung Karno.


Sekarang, situasi di Indonesia sudah mengalami perubahan selangkah demi selangkah atau sedikit demi sedikit. Oleh karena banyaknya kesalahan dan kebusukan rejm Orde Baru (antara lain : pelanggaran HAM yang banyak, pencekekan kehidupan demokratis, penyalahgunaan kekuasaan secara terang-terangan dan meluas, korupsi yang merajalela, kemerosotan moral yang parah, kemiskinan sebagian terbesar dari rakyat, pengangguran yang tinggi, kehidupan sehari-hari yang makin sulit bagi banyak orang) maka citra sisa-sisa pendukung Orde Baru (terutama golongan militer dan Golkar) sudah makin merosot. Bahkan, banyak sekali kalangan atau golongan yang makin yakin bahwa rejim militer Orde Baru adalah mala-petaka bagi negara dan bangsa Indonesia.


Sekarang, makin jelas bagi banyak orang, bahwa Suharto sama sekali bukanlah “pahlawan” yang menyelamatkan bangsa, dan bukan pula “bapak pembangunan” yang telah diagung-agungkan selama puluhan tahun. Tingkah lakunya dalam berbagai kasus KKN dan kehidupannya yang serba mewah dengan harta curian yang triliunan Rupiah (ingat kasus-kasus Tutut, Sigit, Bambang,Tommy) merupakan sebagian kecil dari kekobrokan Orde Baru. 


Perjuangan juga mencakup yang non-kiri dan non-PKI

Oleh karena itulah maka dalam belasan tahun terakhir ini, nampak bahwa perlawanan banyak orang terhadap sisa-sisa politik dan praktek-praktek Orde Baru makin meningkat. Sekarang juga makin jelas bagi banyak orang bahwa perjuangan – dalam berbagai bentuk dan cara -- terhadap sisa-sisa Orde Baru adalah adil, benar, dan luhur. Oleh karenanya, perjuangan ini tidak hanya terbatas dalam golongan kiri yang pernah didholimi secara biadab dalam jangka lama sekali, melainkan mencakup juga golongan-golongan lainnya, termasuk yang non-kiri atau non-simpatisan PKI. 


Situasi politik, ekonomi, sosial di negeri kita yang makin memburuk sekali akhir-akhir ini menyebabkan lahirnya gelombang besar aksi-aksi buruh, tani, pemuda dan mahasiswa yang menyuarakan berbagai tutntan, protes, dan kemarahan terhadap berbagai politik pemerintah SBY-JK. Aksi-aksi yang berbentuk lintas golongan atau lintas faham politik dan lintas agama ini telah dilakukan antara lain dalam merayakan Hari Buruh 1 Mei dimana dikibarkan banyak sekali bendera merah dan bahkan juga dilagukan Internasionale dan Darah Rakyat dll. Dalam banyak kegiatan-kegiatan masyarakat yang menentang kenaikan harga BBM, memperjuangkan kepentingan korban Lapindo dan banyak kasus-kasus lainnya, telah ikut berbagai kalangan dan golongan, termasuk golongan kiri dan simpatisan-simpatisan PKI yang mengambil bagian aktif.


Sekarang makin jelas bagi banyak orang bahwa perjuangan melawan sisa-sisa Orde Baru, menentang berbagai politik buruk pemeritahan SBY-JK, dan juga sekaligus melawan neo-liberalisme (terutama AS) adalah bukan hanya urusan golongan kiri atau simpatisan PKI saja, melainkan urusan atau tugas banyak golongan dan kalangan. Jadi, kalau nantinya di kemudian hari timbul gelombang besar aksi-aksi untuk menuntut adanya perubahan mendasar dan besar, itu bukanlah hanya “hasil hasutan” atau akibat kegiatan berbagai unsur-unsur PKI, yang menurut KASAD Jenderal Agustadi, “mulai makin nyata”. 


Karena keadaan di Indonesia dewasa ini akan makin semrawut dan bobrok akibat berbagai kesalahan dan kejahatan para pengelolanya yang moralnya sudah rusak (dan imannya makin bejat) dan juga akibat resesi sistem kapitalisme di skala internasional maka pastilah akan muncul pula gerakan-gerakan rakyat luas untuk menuntut perbaikan di banyak bidang kehidupan. Seiring dengan bertambahnya kesulitan yang menyengsarakan banyak orang, pastilah akan bertambah juga perlawanan dari berbagai kalangan masyarakat, walaupun ada atau tidak ada “momok komunis”.


“Momok komunis” untuk mencegah perubahan fundamental

Bahwa banyak di antara simpatisan atau mantan anggota PKI mempunyai sikap yang anti Orde Baru, anti-golongan militer pendukung Suharto, anti-neo-liberalisme dan pro Bung Karno dan pro perubahan fundamental dan besar-besaran adalah wajar, karena ini sudah menjadi ciri PKI atau golongan kiri pada umumnya sejak lama. Jelaslah kiranya bahwa pendirian para simpatisan PKI yang demikian ini adalah sesuai atau sejiwa dengan pendapat dan aspirasi sebagian terbesar rakyat kita.


Perkembangan situasi dalamnegeri dan juga dalam skala internasional menunjukkan bahwa ungkapan KASAD Jenderal Agustadi mengenai momok “kebangkitan komunis” sudah “ketinggalan jaman”. Bukan itu saja! Ucapannya yang begitu itu juga memperlihatkan dengan jelas bahwa TNI yang di bawahnya tetap terus merupakan kekuatan yang menghambat atau menghalangi perubahan-perubahan besar yang mendasar yang menguntungkan sebagian terbesar rakyat. Ia masih tetap mau menggunakan “momok bahaya PKI” untuk mencegah adanya perubahan-perubahan besar dalam sistem kenegaraan kita, atau perubahan yang drastis di bidang politik, ekonomi dan sosial di negeri kita. 


Dalam situasi nasional seperti yang kita hadapi bersama dewasa ini, yang membutuhkan perubahan besar-besaran dan fundamental, yang dibarengi dengan gelora di dunia melawan neo-liberalisme (dan imperialisme AS) sikap seperti yang dipertontonkan Jenderal Agustadi jelas-jelas hanyalah merugikan kekuatan perjuangan bersama untuk membela kepentingan rakyat Indoneia. Sebab, seperti sudah ditunjukkan dalam sejarah dimana-mana di dunia, golongan kiri (termasuk simpatisan-simpatisan komuns) adalah unsur atau bagian yang amat penting dari kekuatan untuk mengadakan perubahan.


Dengan perkataan lain, TNI kalau terus-menerus berada di bawah pimpinan orang-orang yang sejiwa seperti Jenderal Agustadi maka akan tetap merupakan musuh dari perubahan yang bisa mengantar negara dan rakyat kita menuju masyarakat adil dan makmur, sesuai dengan gagasan-gagasan besar Bung Karno. Kalau TNI tetap terus dibawa kearah yang reaksioner dan selalu menentang segala yang menjadi aspirasi rakyat banyak, maka akhirnya tidak bisa lain, yaitu : menjadi musuh rakyat !!! 


Negara dan rakyat kita membutuhkan tentara yang dipimpin oleh orang-orang yang berjiwa non-Suharto atau non-Orde Baru, yang bisa menjadi peserta atau pengawal perubahan-perubahan besar, seperti yang ditunjukkan oleh Hugo Chavez di Venezuela dan negara-negara Amerika Latin lainnya.


Paris, 5 Oktober 2008


Catatan tambahan: tidak lama lagi akan disajikan tulisan lainnya yang berkenaan dengan “Hari Kesaktian Pancasila”. Tulisan itu akan menelanjangi kebohongan Suharto dan para penguasa Orde Baru lainnya bahwa mereka menjunjung tinggi-tinggi atau menghormati Pancasila. Kenyataan selama puluhan tahun rejim militer Orde Baru sudah membuktikan dengan jelas bahwa mereka telah mengkhianati, merusak, memalsu, atau melecehkan jiwa asli Pancasila-nya Bung Karno.Tulisan ini sedang disiapkan.

Bung Karno : “Sumbangan dan pengorbanan PKI besar sekali!”

Catatan A. Umar Said


Berikut di bawah ini disajikan cuplikan dari sebagian pidato Presiden Sukarno di depan rapat umum Front Nasional di Istora Senayan Jakarta, tanggal 13 Februari 1966.. Pidatonya ini diucapkannya 4 bulan sesudah terjadinya G30S, ketika Angkatan Darat di bawah pimpinan Suharto sudah mulai secara besar-besaran membunuhi, atau menangkapi, atau menyiksa para pemimpin PKI dan tokoh-tokoh berbagai organisasi masa (antara lain : buruh, tani, nelayan, pegawai negeri, wanita, mahasiswa, pelajar, intelektual, seniman) di seluruh Indonesia.

Agaknya, patut dicatat bahwa pidato Bung Karno di depan rapat umum Front Nasional ini diucapkannya ketika golongan militer di bawah pimpinan Suharto-Nasution sudah terang-terangan mulai melakukan “kudeta merangkak” secara bertahap dan juga merongrong atau merusak kewibawaannya.

Cuplikan sebagian pidatonya ini, diambil dari buku “Revolusi Belum Selesai” halaman 422, 423 , 424, dan 425 Buku “Revolusi Belum Selesai” tersebut terdiri dari 2 jilid, dan berisi lebih dari 100 pidato-pidato Bung Karno, yang diucapkannya di berbagai kesempatan sesudah terjadinya G30S sampai pidatonya tentang Nawaksara 10 Januari 1967. Karena sesudah terjadinya G30S, boleh dikatakan bahwa semua media massa (pers, majalah, TV dan radio ) dikuasai atau dikontrol keras Angkatan Darat, maka banyak sekali (atau hampir semua) pidato-pidato Bung Karno di-black out atau diselewengkan atau dimanipulasi., sehingga tidak diketahui oleh umum secara selayaknya.

Isi buku “Revolusi belum selesai “ ini menyajikan berbagai hal penting yang berkaitan dengan fikiran atau pandangan Bung Karno tentang perlunya persatuan revolusioner bangsa Indonesia dalam mencapai masyarakat adil dan makmur atau sosialisme à la Indonesia, menentang imperialisme AS, melawan neo-kolonialisme dalam segala bentuknya, menjaga persatuan bangsa dan kesatuan Republik Indonesia dan juga mengenai G30S. Karena itu, di samping buku “Di bawah Bendera Revolusi” yang juga merupakan kumpulan tulisan dan pidato-pidatonya selama perjuangannya sejak muda, maka buku “Revolusi Belum Selesai” merupakan dokumen sejarah Indonesia yang amat penting untuk dijadikan khasanah bangsa Indonesia.

Mengingat pentingnya berbagai isi buku “Revolusi belum selesai” ini untuk mengenal lebih jauh dan lebih dalam lagi gagasan atau ajaran Bung Karno, maka website http://kontak.club.fr/index.htm akan sesering mungkin menyajikan cuplikan-cuplikannya. Kali ini disajikan pendapat Bung Karno mengenai sumbangan atau jasa-jasa PKI dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Apa yang diungkapkannya secara tegas, jujur, dan terang-terangan tentang PKI, merupakan hal-hal yang patut menjadi renungan kita bersama.

Penghargaan Bung Karno terhadap perjuangan PKI mempunyai bobot penting dan besar sekali. dalam sejarah perjuangan bangsa. Karena, penghargaan ini datang dari seorang bapak besar bangsa, yang dalam sepanjang hidupnya telah membuktikan diri dengan jelas sebagai seorang pemimpin nasionalis, yang juga muslim dan sekaligus marxis. Sangatlah besar artinya, ketika ia mengatakan bahwa sumbangan PKI dalam perjuangan untuk kemerdekaan adalah paling besar dibandingkan dengan partai-partai atau golongan yang mana pun, bahkan termasuk PNI yang telah ia dirikan sendiri. 

Apa yang dikatakan Bung Karno ini amat penting untuk diketahui oleh rakyat Indonesia berikut generasi yang akan datang. Karena, selama lebih dari 40 tahun masalah PKI ini dipakai oleh Suharto bersama jenderal-jenderalnya sebagai alat untuk menjatuhkan kekuasaan dan kewibawaan Bung Karno dan menghancurkan kekuatan kiri atau revolusioner yang mendukung politiknya. Racun yang disebarkan oleh rejim militer Orde Baru secara terus-menerus, intensif, luas, dan menyeluruh ini, sampai sekarang masih bisa mempengaruhi fikiran sebagian masyarakat kita.Salah satu buktinya ialah apa yang disiarkan oleh koran Duta Masyarakat tanggal 18 dan 19 Januari 2009. (Harap para pembaca menyimak ucapan-ucapan Asisten Intelijen Kasdam I/Bukit Barisan, Kolonel (Inf) Arminson, dalam tulisan di harian tersebut yang berjudul “Lewat kaos, parpol hingga film).

Cuplikan sebagian pidato Bung Karno mengenai PKI ini menunjukkan betapa besar dan jauhnya gagasan atau idam-idamannya tentang persatuan revolusioner yang dirumuskannya dalam konsep Nasakom. Ini terasa lebih penting dan menonjol sekali, kalau kita ingat bahwa pidatonya ini diucapkannya (dalam bulan Februari 1966) ketika Suharto bersama jenderal-jenderalnya sudah melakukan berbagai langkah besar-besaran untuk menghancurkan PKI. 


Cuplikan dari pidato Bung Karno :

(Catatan : teks cuplikan pidato ini diambil oleh penyusun buku “Revolusi belum selesai” dari Arsip Negara, dan disajikan seperti aslinya. Kelihatannya, pidato Bung Karno ini diucapkannya tanpa teks tertulis, seperti halnya banyak pidato-pidatonya yang lain yang juga tanpa teks tertulis).

“Nah ini saudara-saudara, sejak dari saya umur 25 tahun, saya sudah bekerja mati-matian untuk samenbundeling (penggabungan) ) semua revolutionaire krachten (kekuatan revolusioner) buat Indonesia ini. Untuk menggabungkan menjadi satu semua aliran-aliran, golongan-golongan, tenaga-tenaga revolusioner di dalam kalangan bangsa Indonesia. Dan sekarang pun usaha ini masih terus saya jalankan dengan karunia Allah S W T. Saya sebagai Pemimpin Besar Revolusi, sebagai Kepala Negara, sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, saya harus berdiri bukan saja di atas semua golongan, tetapi sebagai ku katakan tadi, berikhtiar untuk mempersatuan semua golongan.

“Ya golongan Nas, ya golongan A, ya golongan Kom. Kita punya kemerdekaan sekarang ini, Saudara-saudara, hasil daripada keringat dan darah, ya Nas, ya A, ya Kom. Jangan ada satu golongan berkata, ooh, ini kemerdekaan hanya hasil perjuangan kami Nas saja. Jangan ada satu golongan berkata, ooh, ini kemerdekaan adalah hasil daripada perjuangan-perjuangan kami A saja. Jangan pula ada golongan yang berkata, kemerdekaan ini adalah hasil daripada perjuangan kami, golongan Kom saja.

“Tidak .Sejak aku masih muda belia, Saudara-saudara, aku melihat bahwa golongan-golongan ini semuanya, semuanya membanting tulang, berjuang, bahkan berkorban untuk kemerdekaan Indonesia. Saya sendiri adalah Nas, tapi aku, demi Allah, tidak akan berkata kemerdekaan ini hanya hasil dari pada perjuangan Nas. Aku pun orang agama, bisa dimasukkan dalam golonban A, ya pak Saifuddin Zuhri, saya ini ? Malahan, saya ini oleh dunia Islam internasional diproklamir menjadi Pahlawan Islam dan Kemerdekaan. Tetapi demi Allah, demi Allah, demi Allah SWT, tidak akan saya berkata bahwa perjuangan kita ini, hasil perjuangan kita, kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan daripada A saja.

“Demikian pula aku tidak akan mau menutup mata bahwa golongan Kom, masya Allah, Saudara-saudara, urunannya, sumbangannya, bahkan korbannya untuk kemerdekaan bukan main besarnya. Bukan main besarnya !

“Karena itu, kadang-kadang sebagai Kepala Negara saya bisa akui, kalau ada orang berkata, Kom itu tidak ada jasanya dalam perjuangan kemerdekaan, aku telah berkata pula berulang-ulang, malahan di hadapan partai-partai yang lain, di hadapan parpol yang lain, dan aku berkata, barangkali di antara semua parpol-parpol, di antara semua parpol-parpol, ya baik dari Nas maupun dari A tidak ada yang telah begitu besar korbannya untuk kemerdekaan Indonesia daripada golongan Kom ini, katakanlah PKI, Saudara-saudara.

“Saya pernah mengalami. Saya sendiri lho mengalami, Saudara-saudara, mengantar 2000 pemimpin PKI dikirim oleh Belanda ke Boven Digul. Hayo, partai lain mana ada sampai ada 2000 pimpinannya sekaligus diinternir, tidak ada. Saya pernah sendiri mengalami dan melihat dengan mata kepala sendiri, pada satu saat 10 000 pimpinan daripada PKI dimasukkan di dalam penjara. Dan menderita dan meringkuk di dalam penjara yang bertahun-tahun. 

“Saya tanya, ya tanya dengan terang-terangan, mana ada parpol lain, bahkan bukan parpolku, aku pemimpin PNI, ya aku dipenjarakan, ya diasingkan, tetapi PNI pun tidak sebesar itu sumbangannya kepada kemerdekaan Indonesia daripada apa yang telah dibuktikan oleh PKI. Ini harus saya katakan dengan tegas. 

“Kita harus adil, Saudara-saudara, adil, adil, adil, sekali adil. Aku, aku sendiri menerima surat, kataku beberapa kali di dalam pidato, surat daripada pimpinan PKI yang hendak keesokan harinya digantung mati oleh Belanda, yaitu di Ciamis. Ya, dengan cara rahasia mereka itu, empat orang mengirim surat kepada saya, keesokan harinya akan digantung di Ciamis. Mengirim surat kepada saya bunyinya apa ? Bung Karno, besok pagi kami akan dihukum di tiang penggantungan. Tapi kami akan jalani hukuman itu dengan ikhlas, oleh karena kami berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Kami berpesan kepada Bung Karno, lanjutkan perjuangan kami ini, yaitu perjuangan mengejar kemerdekaan Indonesia.

“Jadi aku melihat 2000 sekaligus ke Boven Digul. Berpuluh ribu sekaligus masuk di dalam penjara. Dan bukan penjara satu dua tahun, tetapi ada yang sampai 20 tahun, Saudara-saudara. Aku pernah mengalami seseorang di Sukamiskin, saya tanya : Bung, hukumanmu berapa? 54 tahun. Lho bagaimana bisa 54 tahun itu ? Menurut pengetahuanku kitab hukum pidana tidak ada menyebutkan lebih daripada 20 tahun. 20 tahun atau seumur hidup atau hukuman mati, itu tertulis di dalam Wetboek van Strafrecht (kitab hukum pidana). Kenapa kok Bung itu 54 tahun? Ya. Pertama kami ini dihukum 20 tahun, kemudian di dalam penjara, kami masih mempropaganda-kan kemerdekaan Indonesia antara kawan-kawan pesakitan, hukuman. Itu konangan, konangan, ketahuan, saya ditangkap, dipukuli, dan si penjaga yang memukuli saya itu saya tikam mati. Sekali lagi aku diseret di muka hakim, dapat tambahan lagi 20 tahun. Menjadi 40 tahun. 

“Sesudah saya mendapat vonnis total 40 tahun ini, sudah, saya tidak ada lagi harapan untuk bisa keluar dari penjara. Sudah hilang-hilangan hidup saya di dalam penjara ini, saya tidak akan menaati segala aturan-aturan di dalam penjara. Saya di dalam penjara ini terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada satu waktu saya ketangkap lagi, oleh karena saya berbuat sebagai yang dulu, saya menikam lagi, tapi ini kali tidak mati, tambah 14 tahun, 20 tambah 20 tambah 14 sama dengan 54 tahhun. 

“Ini orang dari Minangkabau, Saudara-saudara. Dia itu tiap pagi subuh-subuh sudah sembahyang. Dan selnya itu dekat saya, saya mendengar dia punya doa kepada Allah SWT ; Ya Allah, ya Robbi, aku akan mati di dalam penjara ini. Tetapi sebagaimana sembahyangku ini, shalatku ini, maka hidup dan matiku adalah untuk Engkau. 

“Coba; coba, coba, coba ! Lha kok ada sekarang ini golongan-golongan yang berkata bahwa komunis atau PKI tidak ada jasa di dalam kemerdekaan Indonesia ini.

“Sama sekali tidak benar ! Aku bisa menyaksikan bahwa di antara parpol-parpol malahan mereka itu yang telah berjuang dan berkorban paling besar.”

***

Demikian kutipan sebagian kecil dari amanat Presiden Sukarno di depan rapat umum Front Nasional di Istora Senayan Jakarta, tanggal 13 Februari 1966.

Seperti yang sama-sama kita lihat, amanat tersebut adalah luar biasa! Di dalamnya terkandung pesan (message) yang besar sekali kepada seluruh nasion, dan sekaligus juga peringatan keras kepada semua golongan (terutama kalangan jenderal-jenderal pendukung Suharto) yang bersikap anti-komunis. 

Adalah jelas bahwa pernyataan Bung Karno tentang PKI di depan Front Nasional dalam tahun 1966 itu berdasarkan kebenaran sejarah, dan juga bahwa itu lahir dari ketulusan hatinya yang sedalam-dalamnya. Pernyataannya yang demikian itu adalah cermin dari isi atau jiwa perjuangan revolusionernya sejak muda.

Pendapat Bung Karno tentang sumbangan atau pengorbanan PKI untuk kerdekaan Indonesia menunjukkan bahwa ia adalah betul-betul pemersatu rakyat Indonesia, guru besar dan bapak bangsa, yang tidak ada bandingannya di Indonesia.

Paaris, 23 Januari 2009


Catatan tambahan :

Buku “Revolusi belum selesai” terdiri dari dua jilid. Jilid pertama berisi 443 halaman, sedangkan jilid kedua 456 halaman.
Buku ini diterbitkan oleh. Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (MESIASS), Semarang
Penyunting/Editor :Budi Setiyono dan Bonnie Triyana
Kata pengantar :Asvi Warman Adam
E-mail : mesiass 2001@yahoo.com

Rindu kepada pemimpin yang seperti Bung Karno

Catatan A. Umar Said


Mohon sama-sama kita perhatikan bahwa menjelang Pemilihan presiden 2009, banyak kalangan dari berbagai golongan masyarakat di Indonesia makin merasa bingung atau tidak tahu tokoh yang mana yang pantas dipilih sebagai calon presiden dan wakil presiden. Di samping itu ada juga kalangan yang sudah mengambil sikap cuwek saja atau tidak peduli siapa sajakah yang akan tampil sebagai capres (calon presiden) dan wakilnya. Bahkan, ada sebagian masyarakat yang sudah memutuskan untuk golput saja (atau tidak memilih siapa-siapa), karena berbagai pertimbangan.

Kita sudah mulai mendengar adanya berbagai tokoh yang mencalonkan diri atau yang dicalonkan oleh macam-macam kalangan dari golongan-golongan untuk dipilih sebagai pimpinan tertinggi negara kita beserta wakilnya. Tokoh-tokoh itu terdapat (antara lain ) : Megawati, SBY, Jusuf Kalla, Prabowo, Wiranto, Sutiyoso, Sultan Hamengku Buwono, Hidayat Nur Wahid, Abu Rizal Bakri, dan juga tokoh-tokoh lainnya seperti Surya Paloh, Akbar Tanjung, Agung Leksono, dan (bahkan!) Yusril Ihza Mahendra, Muladi, Fahmi Idris.

Bahwa ada kebingungan atau keraguan banyak orang tentang siapa-siapa yang pantas dipilih sebagai presiden dan wakilnya adalah wajar atau bisa dimengerti kalau mengingat bahwa dari nama-nama yang sudah mulai terdengar (meskipun masih belum pasti betul) maka agaknya tidak ada yang menonjol betul-betul dibandingkan dengan yang lain-lain, yang bisa diharapkan bisa memimpin negara dan bangsa menuju perubahan-perubahan besar dan fundamental bagi kesejahteraan rakyat yang berjumlah 230 juta orang ini.

Terlalu banyak persoalan-persoalan besar yang harus dihadapi negara dan bangsa, sebagai akibat dari peninggalan pemerintahan rezim militer Orde Baru, ditambah dengan sisa-sisa persoalan dari berbagai pemerintahan pasca-Suharto (di bawah Habibie, Abdurrachman Wahid, Megawati,) dan sekarang yang sedang dihadapi oleh pemerintahan SBY-JK. Lebih-lebih lagi, dengan munculnya krisis keuangan yang melahirkan krisis ekonomi di sebagian besar bagian dunia, yang dampaknya juga menimbulkan tambah parahnya kehidupan bangsa Indonesia, maka semuanya itu menuntut adanya kepemimpinan negara, yang bisa diharapkan bisa membawa Republik Indonesia keluar dari kesulitan-kesulitan besar dan parah seperti tersebut di atas.

Muak atau jijik dengan praktek-praktek mereka

Sudah jelaslah kiranya, bahwa kepemimpinan yang demikian itu tidak bisa diharapkan sama sekali dari nama-nama “tokoh-tokoh” yang pandangan politiknya, atau sikap moralnya, atau jati dirinya tergolong dalam pendukung (dekat atau jauh, terang-terangan atau “tersembunyi”) Suharto dan rejim militernya. Sebagian besar rakyat kita sudah kenyang – bahkan muak atau jijik --dengan praktek-praktek mereka selama 32 tahun rejim Orde Baru ditambah lebih dari 10 tahun masa pasca-Suharto, yang hasil negatifnya bisa sama-sama kita saksikan dengan nyata sekali di banyak bidang dewasa ini. 

Seperti yang bisa diamati oleh banyak orang, sebagian terbesar dari masalah penyelewengan kekuasaan, masalah korupsi besar-besaran, masalah pelanggaran HAM, pendeknya segala penyakit-penyakit parah yang terjadi di Indonesia adalah pada umumnya dilakukan oleh orang-orang dari berbagai kalangan yang mempunyai pandangan politik pro-Suharto dan anti-Bung Karno (atau anti-komunis). Tanpa mengambil sikap gebyah-uyah bisalah agaknya dikatakan bahwa para koruptor besar dan para “tokoh” yang rusak moralnya adalah pada umumnya - atau biasanya -- orang-orang yang mendukung Orde Baru. Mereka ini banyak terdapat di kalangan militer, di kalangan pejabat, di kalangan masyarakat luas (bahkan, termasuk di kalangan tokoh-tokoh agama !!!).

Karena itu, nama-nama seperti Prabowo, Wiranto,Sutiyoso, Jusuf Kalla, Abu Rizal Bakri, Surya Paloh, Akbar Tajung, Muladi, Yusril Mahendra, yang sejarah hidup mereka sudah menunjukkan kedekatan dan dukungan mereka terhadap Suharto beserta Orde Barunya, tidaklah sama sekali menimbulkan harapan bahwa mereka bisa menyajikan kepada rakyat dan negara Republik Indonesia satu perspektif yang lain atau jauh berbeda dari apa yang sudah terjadi selama 32 tahun rezim Suharto ditambah lebih dari 10 tahun pasca-Suharto. Kalau (sekali lagi : kalau!) orang-orang yang pro-Suharto terpilih lagi untuk mempimpin rakyat dan negara, maka akan berarti bahwa Republik Indonesia akan terjerumus kembali ke dalam masa gelap atau suram, seperti yang sudah dialami sendiri oleh sebagian terbesar rakyat kita.

Perubahan-perubahan di dunia dan di Indonesia

Sekarang, dalam tahun 2009, sudah banyak sekali perubahan yang terjadi di bidang internasional, dan di bidang nasional, dibandingkan dengan situasi ketika Suharto merebut kekuasaan dari presiden Sukarno dalam tahun-tahun 1965-1966. Perang dingin dalam bentuknya yang lama sudah lewat jauh di belakang, dan “bahaya kubu Uni Soviet” atau “bahaya kuning RRT” sudah tidak menjadi momok seperti dulu lagi. Imperialis Amerika Serikat, yang dulu bisa bertindak sewenang-wenang sebagai polisi sekaligus penguasa dunia, sekarang sudah makin rontok giginya atau makin loyo Merosotnya kekuatan dan pengaruh imperialis AS sekarang ini mendorong terjadinya perubahan-perubahan di dunia, termasuk di Indonesia.

Di skala nasional, sejak jatuhnya rejim Suharto dalam tahun 1998, citra para pendukungnya (terutama pimpinan militer, Golkar, dan kalangan agama) sudah jauh sekali merosot di mata sebagian terbesar rakyat. Meskipun masih berusaha dengan segala cara (tertutup atau terbuka) untuk tetap mempertahankan segala “keistimewaan”-nya semasa rejim Orde Baru, pimpinan militer sudah kehilangan kekuatan mereka sejak dihapuskannya doktrin Dwifungsi, ditertibkannya praktek-praktek bisnis, dan ditempatkannya kekuasaan militer di bawah pimpinan sipil. Perkembangan yang demikian itu merupakan langkah besar sekali untuk menghilangkan berbagai penyakit parah yang disebabkan oleh praktek-praktek buruk pimpinan militer selama puluhan tahun. Namun, sisa-sisa Orde Baru masih cukup kuat untuk terus melakukan perusakan-perusakan di berbagai bidang. 

Sementara itu, perjuangan berbagai kalangan rakyat untuk terus melawan sisa-sisa praktek Orde Baru yang dilanjutkan oleh berbagai pemerintahan pasca-Suharto, masih tetap berkembang atau bergejolak terus dalam bermacam-macam aksi atau gerakan di lapangan politik, ekonomi, sosial dan HAM. Gerakan atau aksi-aksi berbagai kalangan masyarakat ini tidak bisa dibendung atau dicegah, karena dilahirkan oleh situasi objektif dan menjadi sarana atau senjata rakyat dalam membela kepentingan mereka. Terlalu banyak ketidak-adilan dan perlakuan-perlakuan buruk dari pemerintah beserta para elit yang berkuasa terhadap sebagian terbesar rakyat (antara lain terhadap para keluarga korban 65 dan eks-tapol yang jumlahnya besar sekali), yang perlu mendapat perlawanan dari banyak kalangan masyarakat kita.

Mengingat begitu banyaknya dan parahnya persoalan-persoalan besar yang sedang dihadapi sebagian terbesar rakyat kita (antara lain : pengangguran yang puluhan juta, dan kemiskinan yang meluas, harga-harga yang makin mahal untuk kehidupan sehari-hari, dan ........banyaknya korupsi !) ditambah dengan besarnya krisis keuangan dan ekonomi dunia (yang paling parah selama puluhan tahun) maka jelaslah bahwa negara dan rakyat kita membutuhkan adanya pimpinan yang mempunyai politik yang berlainan sama sekali dari politik Suharto dan para pendukungnya,

Perubahan besar-besaran dan fundamental 

Tetapi, sayangnya, dari nama-nama yang sudah mulai disebut-sebut dalam media massa seperti tersebut di atas sebagai calon presiden ini tidak ada yang bisa diandalkan untuk menjalankan politik yang jauh berbeda sama sekali dengan politik rejim militer Orde Baru dan yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan sesudah Suharto. Padahal, sudah jelas bahwa segala macam politik yang sudah ditrapkan sejak lebih dari 40 tahun sampai sekarang adalah politik yang tidak mementingkan kepentingan rakyat banyak, dan hanya menguntungkan golongan elite dan modal asing. Banyak sekali orang yang berpendapat bahwa politik rejim militer Orde Baru dan berbagai pemerintahan yang menggantikannya sudah gagal, dan karenanya perlu diganti dengan politik yang baru oleh pimpinan negara yang baru pula. Tidak bisa lain !!!

Dalam menghadapi pemilihan presiden sekarang ini, terasa sekali adanya kekosongan pemimpin yang mempunyai visi politik dan missi pengabdian kepada rakyat, seperti yang telah ditunjukkan oleh Bung Karno. Hanya tokoh-tokoh yang benar-benar berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak, yang dengan gigih melawan imperialisme dalam segala bentuknya, dapat memimpin negara dan rakyat untuk membuat perubahan-perubahan besar dan fundamental. Pengalaman selama lebih dari 40 tahun sudah membuktikan dengan jelas bahwa perubahan-perubahan besar dan fundamental tidak bisa dilakukan oleh tokoh-tokoh yang bermental seperti Suharto beserta jenderal-jenderal pendukungnya, atau oleh tokoh-tokoh partai GOLKAR (dan tokoh-tokoh berbagai partai lainnya yang pro-Suharto dan anti-Bung Karno)

Perlulah kiranya sama-sama kita perhatikan bahwa selama 40 tahun Orde Baru ditambah masa pasca-Suharto yang lebih dari 10 tahun, tidak ada gagasan-gagasan besar atau fikiran pembimbing bagi bangsa, seperti yang pernah disumbangkan oleh Bung Karno. Suharto sendiri sebagai pimpinan militer dan sekaligus kepala negara selama 32 tahun tidak mampu mencetuskan sesuatu yang besar, luhur atau agung seperti yang telah dicetuskan Bung Karno. Demikian juga halnya dengan tokoh-tokoh partai Golkar atau berbagai partai lainnya pendukung rejim militer Suharto. Seperti yang sama-sama kita saksikan selama ini, mereka hanya pandai menjual rethorika-rethorika yang kedengaran muluk-muluk, tetapi sebenarnya kosong atau palsu isinya. 

Sesudah Bung Karno digulingkan secara khianat oleh Suharto beseta para jenderalnya, dan dengan bantuan imperialisme (teruatama AS) maka sampai sekarang tidak ada seorang pun di antara tokoh- -tokoh Indonesia yang bisa meneruskan atau meniru berbagai kebesaran dan keluhuran Bung Karno sebagai pemersatu dan guru bangsa. Kalau melihat perkembangan situasi sejak Suharto mengkhianati Bung Karno sampai sekarang, dan mencermati riwayat hidup dari sebagian terbesar capres, maka kelihatan betapa kerdilnya atau rendahnya sosok mereka itu umumnya dibandingkan dengan sosok besar Bung Karno. 

Bung Karno sudah membuktikan diri sebagai pejuang revolusioner untuk kepentingan rakyat Indonesia sejak umur muda sekali melawan kolonialisme Belanda, sehingga masuk penjara dan dibuang di Endeh dan Bengkulu. Dan selama memimpin perjuangan rakyat Indonesia, ia telah melahirkan berbagai gagasannya yang besar, seperti yang terkandung dalam Indonesia Menggugat, dan lahirnya Pancasila, serta berbagai ajaran pentingnya seperti Trisakti, Berdikari, Manifesto Politik, Nasakom, dan ajaran-ajarannya yang lain yang bisa dibaca dalam buku Dibawah Bendera Revolusi dan Revolusi Belum Selesai.

Dalam menghadapi pemilihan presiden yang akan datang ini terasa sekali ketiadaan tokoh yang mempunyai citra seagung Bung Karno. Umumnya yang sudah mencalonkan diri atau dicalonkan adalah tokoh-tokoh kerdil, yang kebanyakan juga mempunyai pandangan politik yang pro-Orde Baru dan anti-Bung Karno dan pendukungnya yang terdiri dari golongan kiri. Sekali lagi, perlulah kiranya dikatakan degan tegas bahwa dari orang-orang semacam ini atau dengan orang-orang semacam ini tidak bisa diharapkan sama sekali adanya perubahan besar-besaran yang menguntungkan rakyat dan negara.

Memusuhi ajaran Bung Karno adalah memusuhi kepentingan rakyat

Perubahan besar dan fundamental di Indonesia hanya bisa dilakukan oleh dan bersama-sama tokoh yang jiwa perjuangannya dan pandangan politiknya searah atau mirip dengan yang dimiliki Bung Karno. Tokoh-tokoh politik Indonesia yang mana pun tidak mungkin bisa mendatangkan perubahan besar dan fundamental kalau menganut sikap anti-Bung Karno beserta segala ajaran-ajaran revolusionernya. Tokoh-tokoh (baik militer maupun sipil) yang memusuhi ajaran-ajaran Bung Karno adalah, pada hakekatnya, memusuhi rakyat Indonesia atau mengkhianati revolusi Indonesia.

Dari segi inilah kita bisa melihat betapa besar dosa atau betapa berat kesalahan (untuk tidak mengatakan kejahatan) pimpinan militer di bawah Suharto dan para jenderalnya yang telah menyingkirkan Bung Karno dengan cara-cara yang tidak berdasarkan peri-kemanusiaan, tidak “halal”, dan secara licik dan khianat. Sebab, dengan menghancurkan sosok Bung Karno sebagai pemimpin terbesar rakyat Indonesia, maka Suharto beserta para jenderalnya telah menjadikan rakyat Indonesia kehilangan pedoman politik dan sumber semangat perjuangan yang terbesar dan terpenting dalam sejarah bangsa Indonesia sampai sekarang.

Mengingat itu semuanya, nyatalah bahwa rakyat Indonesia yang mendambakan dan berjuang untuk adanya perubahan-perubahan besar dan fundamental perlu bersama-sama, dengan segala cara dan terus-menerus, membantu terciptanya syarat-syarat bagi timbulnya atau munculnya pimpinan yang mempunyai jiwa besar dan gagasan-gagasan cemerlang bagi kepentingan rakyat seperti yang dimiliki Bung Karno.

Mungkin, perjuangan semacam ini memerlukan proses yang panjang. Namun dengan makin besarnya desakan kebutuhan akan pimpinan semacam itu, dibarengi dengan perkembangan politik, sosial, dan ekonomi yang makin meningkatkan kesadaran politik rakyat secara umum, kiranya perjuangan rakyat Indonesia akhirnya akan melahirkan pimpinan yang dibutuhkan.

Paris, 3 Februari 2009

Minggu, 19 Juli 2009

Kembali ke Bangku Sekolah

Selasa, 13 Juli 2009 19:39 WIB

Tahun ajaran baru telah dimulai kembali. Anak-anak harapan bangsa mulai hari Senin kembali masuk sekolah untuk menuntut ilmu, setelah sekitar tiga pekan menikmati liburan kenaikan kelas.

Kesibukan segera terasa kembali. Para orangtua mempersiapkan semua kebutuhan yang diperlukan putra-putri mereka agar bisa menuntut ilmu dengan baik. Keberuntungan seperti itu sayangnya tidak didapatkan sama oleh semua anak. Bagi mereka yang hidup berkecukupan, maka dengan mudah kebutuhan sekolah itu terpenuhi. Tetapi bagi keluarga yang tidak mampu, maka mereka harus berangkat ke sekolah dengan segala keterbatasannya.

Ketika sang anak pintar dan cerdas, bukan masalah besar segala keterbatasan itu. Dengan kecerdikannya, banyak yang bisa dilakukan untuk menutupi kekurangan itu dan mereka tetap bisa bersaing dengan anak-anak yang lain. Namun ketika ia tidak tergolong anak yang pintar, maka keterbatasan itu menjadi beban tambahan untuk bisa mengejar ketertinggalannya.

Kalau kita coba kelompokkan, setidaknya ada empat kelompok anak-anak kita. Kelompok pertama adalah kelompok anak yang berada dan pintar. Kedua, kelompok anak yang berada namun tidak pintar. Ketiga, kelompok anak yang tidak berada, tetapi pintar. Dan kelompok keempat adalah kelompok anak yang tidak berada dan juga tidak pintar.

Demi pembentukan anak-anak yang berkualitas di masa mendatang, perhatian sepantasnya kita tujukan kepada kelompok keempat. Mengapa? Karena mereka yang pasti tertinggal dalam proses pendidikan. Dan jumlah mereka relatif lebih besar dibandingkan dengan tiga kelompok yang lain.

Pendidikan gratis sembilan tahun bukan jawaban dari persoalan ini. Mereka memang tidak harus membayar untuk mengikuti pendidikan, namun kebutuhan sekolah tidak hanya itu. Mereka butuh buku tulis, mereka butuh buku pelajaran, mereka butuh sarana pendidikan, mereka butuh biaya transportasi, mereka butuh gizi yang memadai.

Masalah ini memang tidak terlepas dari persoalan kemiskinan yang masih masif. Itu terlihat dari banyaknya anak-anak yang memilih untuk menjadi pengemis di perempatan-perempat an jalan atau membantu orangtuanya bekerja daripada memilih pergi ke sekolah.

Di tengah dunia yang berlari cepat dan persaingan yang begitu ketat, mereka pasti tidak akan bisa ikut berkompetisi. Mereka pasti hanya bisa menjadi penonton dan korban dari persaingan apabila kita biarkan.

Inilah yang harusnya membangkitkan kesadaran kita untuk mencari jawabannya. Bukan perkara yang mudah memang, tetapi itulah realita yang kita hadapi.. Kita tidak bisa seperti burung onta yang memasukkan kepalanya ke dalam pasir seakan-akan tidak ada masalah, tetapi harus mencari jalan keluar karena tidak mungkin kita membiarkan mereka menjadi beban di masa mendatang.

Yang terpenting harus dilakukan dalam pendidikan terhadap kelompok anak-anak yang seperti ini adalah jangan sampai mereka dihadapkan kepada situasi frustasi dan membuat mereka menjadi fatalis. Apalagi ketika dihadapkan kepada kehidupan yang serba wah, yang bisa membuat mereka gelap mata.

Rasa kesetiakakawanan dan senasib sepenanggungan itulah yang rus kita juga hidupkan dalam proses pendidikan kita. Harus mulai dibangun kesadaran terutama kepada anak-anak yang lebih beruntung untuk peduli kepada sesama saudaranya yang tidak mampu.

Kita ingatkan lagi pesan baik yang pernah disampaikan tokoh pendidikan Prof Arief Rachman. Bahwa pendidikan jangan hanya melahirkan anak-anak yang pintar semata, tetapi anak-anak yang punya hati, punya empati, mempunyai ahlak yang baik, berbudi luhur, dan sadar bahwa keberhasilan itu dicapai dengan kerja keras, bukan dengan jalan pintas.

Kita harus menghindarkan mereka dari perilaku buruk yang lebih menonjol saat ini. Perilaku dari sebagian besar masyarakat yang begitu mendewa-dewakan yang namanya materi, sehingga melahirkan perilaku yang korup. Orang tidak dihargai karena karyanya, tetapi lebih dipuji karena kegelimangan hartanya, tidak peduli dari mana harta yang melimpah itu didapatkan.

Kita menyambut baik orientasi pemerintah yang akan lebih mengutamakan sekolah kejuruan daripada sekolah umum. Pembagian yang lebih awal bukan hanya baik untuk tidak menghambur-hamburka n sumber daya yang terbatas, tetapi sejak awal mengajarkan kepada anak-anak didik, khususnya yang sudah memasuki sekolah menengah atas, untuk memilih jalur ke pendidikan yang lebih berorientasi kepada pekerjaan ataukah memilih jalur menekuni keilmuan.

Di antara ke dua pilihan itu tidak ada yang baik dan buruk. Semua baik sepanjang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Indonesia ke depan bukan hanya membutuhkan ilmuwan-ilmuwan yang baik, manajer-manajer yang berkualitas, tetapi juga orang-orang yang bisa mempraktikkan ilmu menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupan masyarakat banyak. Kita tidak hanya membutuhkan orang-orang yang berpikir, tetapi juga orang-orang yang bekerja.

Karena itu kita bukan hanya membutuhkan sekolah-sekolah kejuruan, tetapi sekolah kejuruan yang baik. Sekolah kejuruan yang bisa menghasilkan orang-orang yang dibutuhkan dan bisa langsung dikaryakan oleh dunia usaha.

Sekolah kejuruan bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan kita. Hanya saja kita tidak pernah menanganinya secara benar, sehingga satu per satu sekolah kejuruan itu mati, karena anak-anak yang dihasilkan tidak cocok dengan kebutuhan yang ada di lapangan.

Semoga kita tidak melakukan kesalahan yang sama. Justru sebaliknya mengambil pelajaran dari kesalahan masa lalu, bagi kemajuan pendidikan dan pembentukan manusia Indonesia berkualitas di masa mendatang.


Rabu, 01 Juli 2009

PESONA KAMPUNG SUMBER ALAM

Salah satu cara untuk memanjakan tubuh adalah mandi dengan air panas, karena hal ini bisa membuat peredaran darah menjadi lancar, sehingga tubuh menjadi sehat. Apalagi kalau mandi air panas langsung dari alam, tentunya akan mempunyai rasa dan nuansa yang berbeda. Barangkali Kampung Sumber Alam, Cipanas, Garut dapat memenuhi kebutuhan tersebut, yang menyediakan resort dengan pemandaian-pemandaian air panas dari langsung dari alam.
 
Mungkin Pak Maskawan, sang pendiri Kampung Sumber Alam Cipanas ini tak pernah menyangka kalau resort yang didirikan tahun 1985 akan semaju sekarang. Sejak pertama didirikan sampai dengan sekarang resort ini telah mengalami beberapa kali renovasi, sehingga menjadi bangunan yang cukup eksotis dan menjadi salah satu tempat yang menarik bagi para wisatawan, baik domestik maupun wisatawan manca negara. Perjuangan keras yang tak kenal lelah dari sang pendiri, hasilnya bisa dilihat sekarang. Terbukti baik di hari biasa ( week day ) maupun Sabtu & Minggu ( weekend ) resort ini tak pernah sepi dari para pengunjung. Bahkan dihari-hari besar dan long weekend kita mesti reservasi 1 bulan sebelum hari H untuk mendapatkan satu bungalow.
 
Di Jalan Raya Cipanas memang tempat yang cocok sebagai tempat resort, hampir sepanjang kanan kiri jalan dipenuhi dengan resort-resort, dari kelas yang paling murah sampai dengan yang tergolong mahal seperti Kampung Sumber Alam. Disekitar resort ini banyak sekali berdiri resort-resort, namun yang kelihatan paling bagus adalah Kampung Sumber Alam ini. Terlihat jelas kalau malam hari, lampion warna-warni menghiasi pintu masuk dan halaman depan resort ini, bangunan tradisional tapi dengan design dan artistik yang futuristik. Biasanya di malam hari, pada hari libur pengunjung sangat membludak, sehingga parkir mobil sampai berjejer di jalan umum sekitar resort. Mungkin salah satu kelemahan dari Kampung Sumber Alam ini adalah tempat parkir yang kurang luas, sehingga tidak bisa menampung seluruh kendaraan pengunjung yang datang bersama-sama. Susahnya mencari lokasi parkir, akan terobati setelah kita turun dan mulai memasuki ruang lobby utama. Ruang lobby utama tak ubahnya seperti ruang lobby hotel bintang lima. Petugas hotel yang ramah sudah siap menanti kita dan memberikan segala keterangan yang kita inginkan.
 
Semua villa disini memakai bahan dasar dari bambu dan kayu dengan atap ijuk. Jenis resort yang tersedia dari yang paling kecil sampai dengan corporate dan ruang meeting. Diantara resort tersebut adalah; Kawung saat weekday adalah Rp 250,470,- dan weekend Rp 279,950,-;Pondok Kelapa saat weekday adalah Rp 361,659,- dan weekend Rp 433,400,- dan yang paling mahal adalah Suite Arileu saat weekday adalah Rp 978,313,- dan weekend adalah 1,185,526,-. Keistimewaan dari tempat ini adalah tiap-tiap resort yang berdiri, berada diatas air panas dari alam, tersedia kamar mandi dengan fasilitas air panas dan biasa Di dalamnya, dan kolam renang air panas untuk berenang bersama keluarga. Resort yang terletak 6 km sebelah utara kota Garut ini, atau satu jam dengan berkendaraan mobil dari Bandung atau 230 kms dari Jakarta memang cocok sebagai tempat liburan dan rilex. Sebetulnya tidak hanya individu yang menginap di sini, tapi dari corporate pun sering menginap dan mengadakan meeting di tempat ini. Karena itu ruangan meeting standar untuk bisnis juga tersedia. Dua ruang meeting yaitu Gambir Wangi & Inten Dewata adalah ruang meeting yang dapat menampung antara 18 sampai dengan 100 orang. Termasuk di dalamnya adalah screen, overhead projector, whiteboard, flipchart dan sound system.
 
Fasilitas lain yang melengkapi fasilitas-fasilitas yang ada adalah spa. Hal ini tentunya semakin menambah nikmatnya berlibur di tempat ini, dengan harga yang terjangkau. Soal makan pun tak perlu khawatir, sebuah restoran dengan berbagai jenis makanan, baik khas Garut atau jenis masakan lain juga tersedia. Bagi para pengunjung, dengan menginap di tempat ini, ibarat kata adalah,"one stop shopping", karena berbagai fasilitas yang lengkap tersedia. Tak ada salahnya jika ada kesempatan mampir dan berlibur ke tempat ini bersama keluarga.
 
Bumi Pasundan Bumi dengan Sejuta Pesona
 
AMGD