Minggu, 19 Juli 2009

Kembali ke Bangku Sekolah

Selasa, 13 Juli 2009 19:39 WIB

Tahun ajaran baru telah dimulai kembali. Anak-anak harapan bangsa mulai hari Senin kembali masuk sekolah untuk menuntut ilmu, setelah sekitar tiga pekan menikmati liburan kenaikan kelas.

Kesibukan segera terasa kembali. Para orangtua mempersiapkan semua kebutuhan yang diperlukan putra-putri mereka agar bisa menuntut ilmu dengan baik. Keberuntungan seperti itu sayangnya tidak didapatkan sama oleh semua anak. Bagi mereka yang hidup berkecukupan, maka dengan mudah kebutuhan sekolah itu terpenuhi. Tetapi bagi keluarga yang tidak mampu, maka mereka harus berangkat ke sekolah dengan segala keterbatasannya.

Ketika sang anak pintar dan cerdas, bukan masalah besar segala keterbatasan itu. Dengan kecerdikannya, banyak yang bisa dilakukan untuk menutupi kekurangan itu dan mereka tetap bisa bersaing dengan anak-anak yang lain. Namun ketika ia tidak tergolong anak yang pintar, maka keterbatasan itu menjadi beban tambahan untuk bisa mengejar ketertinggalannya.

Kalau kita coba kelompokkan, setidaknya ada empat kelompok anak-anak kita. Kelompok pertama adalah kelompok anak yang berada dan pintar. Kedua, kelompok anak yang berada namun tidak pintar. Ketiga, kelompok anak yang tidak berada, tetapi pintar. Dan kelompok keempat adalah kelompok anak yang tidak berada dan juga tidak pintar.

Demi pembentukan anak-anak yang berkualitas di masa mendatang, perhatian sepantasnya kita tujukan kepada kelompok keempat. Mengapa? Karena mereka yang pasti tertinggal dalam proses pendidikan. Dan jumlah mereka relatif lebih besar dibandingkan dengan tiga kelompok yang lain.

Pendidikan gratis sembilan tahun bukan jawaban dari persoalan ini. Mereka memang tidak harus membayar untuk mengikuti pendidikan, namun kebutuhan sekolah tidak hanya itu. Mereka butuh buku tulis, mereka butuh buku pelajaran, mereka butuh sarana pendidikan, mereka butuh biaya transportasi, mereka butuh gizi yang memadai.

Masalah ini memang tidak terlepas dari persoalan kemiskinan yang masih masif. Itu terlihat dari banyaknya anak-anak yang memilih untuk menjadi pengemis di perempatan-perempat an jalan atau membantu orangtuanya bekerja daripada memilih pergi ke sekolah.

Di tengah dunia yang berlari cepat dan persaingan yang begitu ketat, mereka pasti tidak akan bisa ikut berkompetisi. Mereka pasti hanya bisa menjadi penonton dan korban dari persaingan apabila kita biarkan.

Inilah yang harusnya membangkitkan kesadaran kita untuk mencari jawabannya. Bukan perkara yang mudah memang, tetapi itulah realita yang kita hadapi.. Kita tidak bisa seperti burung onta yang memasukkan kepalanya ke dalam pasir seakan-akan tidak ada masalah, tetapi harus mencari jalan keluar karena tidak mungkin kita membiarkan mereka menjadi beban di masa mendatang.

Yang terpenting harus dilakukan dalam pendidikan terhadap kelompok anak-anak yang seperti ini adalah jangan sampai mereka dihadapkan kepada situasi frustasi dan membuat mereka menjadi fatalis. Apalagi ketika dihadapkan kepada kehidupan yang serba wah, yang bisa membuat mereka gelap mata.

Rasa kesetiakakawanan dan senasib sepenanggungan itulah yang rus kita juga hidupkan dalam proses pendidikan kita. Harus mulai dibangun kesadaran terutama kepada anak-anak yang lebih beruntung untuk peduli kepada sesama saudaranya yang tidak mampu.

Kita ingatkan lagi pesan baik yang pernah disampaikan tokoh pendidikan Prof Arief Rachman. Bahwa pendidikan jangan hanya melahirkan anak-anak yang pintar semata, tetapi anak-anak yang punya hati, punya empati, mempunyai ahlak yang baik, berbudi luhur, dan sadar bahwa keberhasilan itu dicapai dengan kerja keras, bukan dengan jalan pintas.

Kita harus menghindarkan mereka dari perilaku buruk yang lebih menonjol saat ini. Perilaku dari sebagian besar masyarakat yang begitu mendewa-dewakan yang namanya materi, sehingga melahirkan perilaku yang korup. Orang tidak dihargai karena karyanya, tetapi lebih dipuji karena kegelimangan hartanya, tidak peduli dari mana harta yang melimpah itu didapatkan.

Kita menyambut baik orientasi pemerintah yang akan lebih mengutamakan sekolah kejuruan daripada sekolah umum. Pembagian yang lebih awal bukan hanya baik untuk tidak menghambur-hamburka n sumber daya yang terbatas, tetapi sejak awal mengajarkan kepada anak-anak didik, khususnya yang sudah memasuki sekolah menengah atas, untuk memilih jalur ke pendidikan yang lebih berorientasi kepada pekerjaan ataukah memilih jalur menekuni keilmuan.

Di antara ke dua pilihan itu tidak ada yang baik dan buruk. Semua baik sepanjang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Indonesia ke depan bukan hanya membutuhkan ilmuwan-ilmuwan yang baik, manajer-manajer yang berkualitas, tetapi juga orang-orang yang bisa mempraktikkan ilmu menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupan masyarakat banyak. Kita tidak hanya membutuhkan orang-orang yang berpikir, tetapi juga orang-orang yang bekerja.

Karena itu kita bukan hanya membutuhkan sekolah-sekolah kejuruan, tetapi sekolah kejuruan yang baik. Sekolah kejuruan yang bisa menghasilkan orang-orang yang dibutuhkan dan bisa langsung dikaryakan oleh dunia usaha.

Sekolah kejuruan bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan kita. Hanya saja kita tidak pernah menanganinya secara benar, sehingga satu per satu sekolah kejuruan itu mati, karena anak-anak yang dihasilkan tidak cocok dengan kebutuhan yang ada di lapangan.

Semoga kita tidak melakukan kesalahan yang sama. Justru sebaliknya mengambil pelajaran dari kesalahan masa lalu, bagi kemajuan pendidikan dan pembentukan manusia Indonesia berkualitas di masa mendatang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar